Minggu, 03 November 2019

Kura-Kura Ngontrak #3




Senyum-senyum genit



          Mata hari kembali datang untuk menjalankan tugasnya, aku bergegas beranjak dari tidurku, lalu kemudian mandi dan tidak lupa menggosok gigi, setelah itu membersihkan tempat tidurku, bantal guling bau pesing tadi malem aku ngompol (apasih? pagi-pagi udah gak jelas hehe).

Ada yang berbeda dengan hari ini, tak terdengan suara keras dari ruang makan, dalam hati aku berkata.
“Mungkin mamah kesiangan hari ini.”
Setelah semua beres, pakaian, buku, sepatu, dan segala sesuatu yang akan menjadi saksi bisu tentang bagaimana hariku di sekolah, akupun bergegas turun, setelah sampai dibawah, sama sekali tak terlihat mamah dan papah yang biasanya lalu–lalang.
“Loh mamah sama papah kok gak ada bi?” tanyaku kepada Bi Ijah.
“Oh saya ndak tau non, wong tadi ibu sama bapak perginya bareng pagi-pagi sekali,” tegas Bi ijah.
Tanpa banyak bertanya akupun melahap habis sarapanku lalu beranjak keluar rumah.

          Seperti biasa aku diantar oleh pembalap non-profesional (Om Jono), dengan senyumannya yang lebar sehingga membuat kumis tebalnya terangkat, Om jono membukakan aku pintu mobil.
“Selamat pagi non,” ucap Om Jono.
Lalu kami berangkat dengan agak sedikit pelan, hal ini menambah kebingunganku, setelah aku dibingungkan dengan mamah dan papah yang berangkat lebih pagi dari biasanya, dan sekarang aku dibingungkan oleh Om Jono yang membawa mobil lebih pelan dari biasanya, sebenarnya ada apa ini?.
Karena merasa sangat penasaran, aku memutuskan untuk bertanya kepada Om Jono.
“Hmm Om, kok Om jalannya pelan sih?” tanyaku kepada Om Jono.
“Ya memangnya ndak boleh? lah kan saya yang bawa mobil non,” jawab Om Jono.
Lalu aku kembali bertanya “Om mau meninggal ya?” (biasanya kalau seseorang berubah jadi baik tandanya mau meninggal, ya itusih kata orang-orang).
“Hus kamu ini, sembarangan kalau ngomong,” tegas Om Jono langsung membantah perkataanku.
Akupun tertawa melihat raut wajah Om Jono yang langsung berubah sinis.
          Hal mengejutkan tiba-tiba keluar dari ucapan Om Jono, membuat mataku berkaca-kaca.
“Non, mulai besok saya ndak bisa antar non lagi ya,” ucapnya dengan wajah murung.
Dengan mata yang berkaca-kaca aku bertanya.
“Memangnya kenapa Om? ada apa sih sebenernya?”
“Ya saya ndak bisa aja,” jawab Om Jono singkat.
“Trus aku sama siapa dong Om? dari kecil aku udah sama Om, nanti gak bisa kebut-kebutan lagi dong? ah pokoknya aku maunya sama om!” ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
“Ya abis mau gimana non, saya mau pulang kampung soalnya istri saya sakit,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oh jadi Om balik lagi ke Jakarta? trus nanti Om kerja apa disana?” tanyaku sambil menghapus air mata.
“Oia disana kebetulan kan dekat dengan salah satu perusahaan papah kamu, ya jadi Om disuruh bantu-bantu disana, ya paling setahun dua tahun Om menetap disana” jawabnya.
          Tidak terasa kami sampai di depan gerbang sekolah, sambil mengusap-usap mata, aku keluar dari mobil, lalu Om Jono berkata sambil membuka kaca mobil.
“Sampai jumpa ya non, lakukan apa yang kamu ingin lakukan, jangan jadi anak yang cengeng ok!”
Mendengar perkataan itu aku hanya dapat menganggukkan kepala sambil berkata.
“Ia Om, Om juga baik-baik ya disana, salam sama istrinya, aku tunggu satu atau dua tahun lagi yah,” jawabku sambil menahan haru.
Dengan senyum khasnya Om Jono berkata.
“Ia non trimakasih, sampai jumpa,” lalu ia menutup kaca mobil dan beranjak pergi.
Entah mengapa air mataku tak terasa menetes kembali setelah percakapan barusan, sambil memandangi mobil yang mulai menjauh itu aku termenung sambil mengusap air mataku.

          Bel sekolah tak lama lagi berbunyi, akupun beranjak dari tempat dimana aku berpisah dengan Om Jono, dengan mata yang masih berkaca-kaca aku melewati pagar sekolah, tak lama aku berjalan tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku, sontak akupun menoleh kebelakang, ternyata dia adalah Dhani, satu-satunya kekasihku (soalnya gak hobby selingkuh).
“Selamat pagi kesayanganku,” ucap Dhani sambil senyum tiga jari.
“Ia pagi,” jawabku sambil berusaha menutupi mataku yang bengkak karena habis menangis.
“Loh mata kamu kenapa? kok merah? kamu abis dipukul?” tanya Dhani dengan wajah bingung.
Dhani memang orang yang polos, terkadang aku bingung dengan tingkah dan perkataanya, mendengar perkataan Dhani yang polos tadi, senyumkupun mulai terlihat’
“Kok kamu malah senyum-senyum sih? kan aku nanya tadi,” ucap Dhani dengan wajah yang nampak semakin bingung.
Lalu dengan nada tegas aku berkata.
“Ya engak lah, masa aku dipukul?, memangnya kamu gak bisa bedain yang mana abis dipukul dan yang mana abis nangis?”
“Oohh... abis nangis, nangis karena apa?” tanya Dhani.
Padahal aku ingin sekali bercerita banyak tentang kejadian ini kepada Dhani, namun tiba-tiba bel sekolah berbunyi.
“Eh udah bel tuh, aku masuk kelas dulu ya, nanti aja aku ceritanya, dadaaah,” ucapku sambil melambaikan tangan, lalu kami menuju kelas masing-masing, akupun siap untuk kembali bergelut dengan buku.

          Jam demi jam berlalu, lembar demi lembar buku pelajaran telah aku buka, hingga sampai pada saat-saat yang berbahagia dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, itu adalah saat dimana semua buku-buku tertutup, setiap siswa dan siswi berhamburan keluar kelas lalu membuat antrian di depan tukang jajanan.

Dengan tanpa gairah aku turut serta dalam memeriahkan waktu istirahat sekolah itu, entah mengapa aku masih merasakan sedihnya ditinggal Om Jono, ini bahkan lebih sedih daripada ditinggal pacar, atau jangan-jangan om Jono adalah cinta sejatiku?, sehingga aku merasa sangat kehilangan karena perpisahan ini?, Hus ngomong apasih? akukan sedang sedih, bukan saatnya ngomong ngelantur!.

Aku pergi ke kantin sekolah bersama dengan sahabat-sahabatku (geng CEMUT), sesampainya di kantin barulah mereka menyadari bahwa aku sedang bersedih (padahal dari tadi udah ngasih kode, dasar gak peka!).
“Lo kenapa vir? kok dari tadi lo kelihatan murung? cerita dong sama kita!” Tasya memulai percakapan
“Ia Tas, om Jono udah gak disini lagi, mungkin untuk waktu yang lama,” jawabku sambil mulai berkaca-kaca kembali.
“Loh kenapa? mulai kapan? yah gue belum sempet pamitan dong,” tanya Sarah yang juga mulai larut dalam kesedihan.

Lalu aku menjelaskan semua dari awal, tentang istri om Jono yang sedang sakit, kira-kira berapa lama dia disana, sampai dimana ia bekerja nanti, semua larut dalam kesedihan, yang mereka sayangkan adalah mereka belum sempat berpamitan dengan om Jono, kami semua tak sanggup menahan air mata, sehingga mengundang perhatian orang-orang di kantin yang memandang heran ke arah kami, namun kami abaikan, namanya juga lagi sedih, atau jangan-jangan om Jono adalah cinta sejati kami? (halah mulai ngaco lagi).

          Bel tanda masuk berbunyi, semua siswa dan siswi terpaksa meninggalkan kantin yang nyaman dan kembali duduk di kursi panas (terlalu lama duduk membuat bangku sekolah menjadi panas).

Semua siswa/i kembali larut dalam celotehan ibu bapak guru, semuanya sangat terlihat semangat untuk kembali belajar (kuharap begitu). Setelah beberapa jam kami habiskan, maka bel pulang yang dinanti-nanti berbunyi, kalau masalah yang satu ini semua teman-teman sekelasku sangan inisiatif, sebelum bapak/ibu guru berkata.
“Sudah waktunya pulang, mari bereskan buku-buku kalian.”
Semua siswa/i sudah jauh lebih dahulu membereskan buku-buku mereka (anak-anak sekarang inisiatif).

Hari ini adalah hari terakhir di minggu ini kami semua belajar di sekolah, karena apa?, ya, tepat sekali, besok adalah hari minggu (yeyeye lalala yeyeye joget kucek jemur). karena besok adalah libur akhir pekan, maka aku, Sarah, Tasya dan Hanida memutuskan untuk berkumpul dirumahku, ya itung-itung untuk menghiburku yang ditinggal oleh om Jono, cinta sejatiku (kok cinta sejati lagi sih?, ngawur). Kali ini kami semua diantar oleh ayahnya Hanida, setelah duduk rapih didalam mobil, ayahnya Hanida langsung tancap gas dengan perlahan, sontak aku lagi-lagi teringat dengan om Jono.

          Sampailah kami di rumahku yang nampak sunyi nyaris tanpa kehidupan.
“Nah sudah samapai, nanti pulangnya jangan terlalu sore yah, kalau ada apa-apa telpon,” pesan ayah Hanida.
Serempak kami mengangguk. Beberapa saat setelah ayahnya Hanida pergi meninggalkan kami, bi Ijah membukakan pintu gerbang dan menyambut kedatangan kami.
“Dirumah gak ada orang bi?”
“Ya ndak ada non, oh ia, non semua mau makan apa? biar bibi siapkan.”
lalu aku mengangguk sambil berkata.
“Ya seperti biasa aja bi, minum dan makanannya terserah bibi, tapi harus ada coklatnya ya”
“Iya non bibi sudah paham kok makanan kalian,” jawab bi Ijah sambil tertaw kecil.
Kami semua masuk kedalam rumahku, melewati teras, ruang tamu, dan barulah sampai di depan kamarku. Tiba-tiba setelah sampai di depan kamarku, aku baru teringat kalau di dalam kamarku banyak sekali berserakan foto-foto mesraku dengan Dhani, aku takut menyinggung perasaan teman-temanku yang semuanya adalah seorang jomblo hehe.
“Eits stop dulu sampai disini!”  aku langsung menghentikan langkah kaki.
“Kenapasih? banyak baju kotor emangnya di kamar lo? atau banyak foto cowo-cowo bugil?” tanya Tasya yang langsung merespon perkataanku.
“Eemm engak!, eemmm yaudah pokoknya tunggu sebentar!”

Aku langsung bergegas masuk kedalam kamarku seorang diri dan tidak lupa mengunci pintu, dengan sigap aku merapihkan semua foto-foto dan barang-barang yang berhubungan dengan percintaan. Setelah semua rapih dan bersih dari segala sesuatu yang berhubungan dengan percintaan, aku membuka pintu kamarku, terlihat semua mata teman-temanku menyipit seperti mencurigai sesuatu.
“Udah nyembunyiinnya?” Sarah bertanya dengan nada tegas, “nyembunyiin apa sih sayang? udah ayuk masuk!” jawabku sambil mencoba mencairkan suasana.
          Setelah masuk kedalam kamar, masing-masing langsung bergegas mencari posisi yang nyaman, lalu aku memulai pembicaraan.
“Ayo kita mulai hari ini dengan bermain game!”
Semua tidak menjawab, malah melihat kearah yang sama, kearah sesuatu yang berada di tangan Sarah, ternyata itu adalah foto mesraku bersama Dhani, entah mengapa foto itu ada di tangan Sarah, pasti foto itu luput dari pandanganku tadi.
“Jadi ini yang lo sembunyiin tadi? kenapa harus disembunyiin?” tanya Sarah.
“Gak apa-apa kok Vir, kita maklum kok disini kan yang punya pacar kan cuma lo, kita biasa aja kok,” sambung Hanida.
Lalu aku tersipu malu (sambil garuk-garuk dengkul, eh garuk-garuk kepala maksudnya).
“Emm ya gua gak enak aja sama kalian, gua gak mau persahabatan kita pecah gara-gara cowo, biasanya kan gitu kalo di TV TV.”
“Ah kebanyakan nonton TV sih lo, pantesan muka lo kayak iklan haha,” tegas Tasya sambil tertawa terbahak-bahak.

Ya mungkin aku bisa terima perkataan Tasya, karena memang tiada hari tanpa menonton FTV bagiku (maklum lah, namanya juga cewe). Tiba-tiba bi Ijah datang mengantar makanan, betapa indahnya dunia ini, sambil menikmati berbagai macam makanan kami larut dalam canda dan tawa, dalam hati aku berkata “aku gak mau kehilangan semuanya”.
          Satu jam berlalu.
“Eh besok kan hari minggu yah? kemana nih yang enak?” tanya Tasya.
“Nonton aja yuk, banyak film seru nih,” tegas Sarah.
Tiba-tiba Hanida menepuk jidatnya dengan keras.
“plak.”
“Kenapa lo Tas? sinih gue aja yang pukul jidat lo!” tegasku sambil tertawa.
“Bukan gitu, besok kan minggu, masa lo semua gak inget, besok kan kita mulai latihan Taekwondo.”
“Alahmak, gue juga lupa, formulirnya mana? sama lo kan vir?” tanya Tasya.
“Aduh gue juga lupa, dimana yah formulirnya?, duh beneran lupa, gimana nih kalo ilang?”
“Wah parah lo, masa kita baru aja mau masuk udah bikin ulah gini sih,” tegas Tasya sambil perlahan mengambil pisang cokelat yang hanya tinggal satu itu.
“Ya mau gimana lagi, namanya juga udah ilang, ya mau gimana lagi,” jawab Hanida sambil melirik kearahku.
“Iya iya, besok gua ngomong deh ke guru Taekwondo-nya,” jawabku lesu.
Beberapa jam telah kami lewati, haripun sudah semakin gelap, satu persatu pergi meninggalkan kamarku karena sudah dijemput untuk pulang kerumahnya masing-masing, dimulai dari Tasya lalu disusul oleh Hanida, sekarang hanya menyisakan aku dan sicantik Sarah.
“Lo besok ikut kan?” tanyaku.
“Emm boleh deh.”
“Lo kan gak tau tempatnya, nanti bareng gue aja yah, tapi lo yang ke rumah gue, gue nebeng hehe,” jawabku sambil agak memonyongkan bibir agar terlihat imut.
“Iye, besok jam 7 gue udah dirumah lo ya, kalo lo masih molor gua tinggalin, gua berangkat bareng Tasya.”
“Hehe iya iya, dijamin gak kesiangan kok,” jawabku tetap dengan wajah yang memelas dan sok imut.

Tidak lama kemudian Sarahpun telah dijemput oleh kakanya, meninggalkan aku sendirian dikamar ini, sambil membereskan kamarku yang sudah seperti kapal pecah ini, aku baru teringat sesuatu, aku baru ingat kalau aku mau menceritakan bahwa cowok keren berparas dingin itu adalah anaknya om Jono, tapi sudahlah, nanti juga lama-lama tahu sendiri.

Setelah semuanya beres, akupun menghabiskan waktuku dengan bermanja ria dengan Dhani, aku menceritakan hal yang belum sempat aku ceritakan di sekolah tadi pagi, tentang om Jono yang pulang kampung, berjam-jam sudah bermesraan dengan Dhani, saatnya berpamitan dan beristirahat, aku harus bangun awal jika tidak mau ditinggal oleh Sarah besok, lalu akupun beristirahat.



***