Senyum-senyum genit
Mata hari kembali datang untuk
menjalankan tugasnya, aku bergegas beranjak dari tidurku, lalu kemudian mandi
dan tidak lupa menggosok gigi, setelah itu membersihkan tempat tidurku, bantal
guling bau pesing tadi malem aku ngompol (apasih? pagi-pagi udah gak jelas
hehe).
Ada
yang berbeda dengan hari ini, tak terdengan suara keras dari ruang makan, dalam
hati aku berkata.
“Mungkin
mamah kesiangan hari ini.”
Setelah
semua beres, pakaian, buku, sepatu, dan segala sesuatu yang akan menjadi saksi
bisu tentang bagaimana hariku di sekolah, akupun bergegas turun, setelah sampai
dibawah, sama sekali tak terlihat mamah dan papah yang biasanya lalu–lalang.
“Loh
mamah sama papah kok gak ada bi?” tanyaku kepada Bi Ijah.
“Oh
saya ndak tau non, wong tadi ibu sama bapak perginya bareng pagi-pagi sekali,”
tegas Bi ijah.
Tanpa
banyak bertanya akupun melahap habis sarapanku lalu beranjak keluar rumah.
Seperti biasa aku diantar oleh
pembalap non-profesional (Om Jono), dengan senyumannya yang lebar sehingga
membuat kumis tebalnya terangkat, Om jono membukakan aku pintu mobil.
“Selamat
pagi non,” ucap Om Jono.
Lalu
kami berangkat dengan agak sedikit pelan, hal ini menambah kebingunganku,
setelah aku dibingungkan dengan mamah dan papah yang berangkat lebih pagi dari
biasanya, dan sekarang aku dibingungkan oleh Om Jono yang membawa mobil lebih
pelan dari biasanya, sebenarnya ada apa ini?.
Karena
merasa sangat penasaran, aku memutuskan untuk bertanya kepada Om Jono.
“Hmm
Om, kok Om jalannya pelan sih?” tanyaku kepada Om Jono.
“Ya
memangnya ndak boleh? lah kan saya yang bawa mobil non,” jawab Om Jono.
Lalu
aku kembali bertanya “Om mau meninggal ya?” (biasanya kalau seseorang berubah
jadi baik tandanya mau meninggal, ya itusih kata orang-orang).
“Hus
kamu ini, sembarangan kalau ngomong,” tegas Om Jono langsung membantah
perkataanku.
Akupun
tertawa melihat raut wajah Om Jono yang langsung berubah sinis.
Hal mengejutkan tiba-tiba keluar dari
ucapan Om Jono, membuat mataku berkaca-kaca.
“Non,
mulai besok saya ndak bisa antar non lagi ya,” ucapnya dengan wajah murung.
Dengan
mata yang berkaca-kaca aku bertanya.
“Memangnya
kenapa Om? ada apa sih sebenernya?”
“Ya
saya ndak bisa aja,” jawab Om Jono singkat.
“Trus
aku sama siapa dong Om? dari kecil aku udah sama Om, nanti gak bisa
kebut-kebutan lagi dong? ah pokoknya aku maunya sama om!” ucapku sambil
menangis tersedu-sedu.
“Ya
abis mau gimana non, saya mau pulang kampung soalnya istri saya sakit,”
jawabnya sambil tersenyum.
“Oh
jadi Om balik lagi ke Jakarta? trus nanti Om kerja apa disana?” tanyaku sambil
menghapus air mata.
“Oia
disana kebetulan kan dekat dengan salah satu perusahaan papah kamu, ya jadi Om
disuruh bantu-bantu disana, ya paling setahun dua tahun Om menetap disana”
jawabnya.
Tidak terasa kami sampai di depan
gerbang sekolah, sambil mengusap-usap mata, aku keluar dari mobil, lalu Om Jono
berkata sambil membuka kaca mobil.
“Sampai
jumpa ya non, lakukan apa yang kamu ingin lakukan, jangan jadi anak yang
cengeng ok!”
Mendengar
perkataan itu aku hanya dapat menganggukkan kepala sambil berkata.
“Ia
Om, Om juga baik-baik ya disana, salam sama istrinya, aku tunggu satu atau dua
tahun lagi yah,” jawabku sambil menahan haru.
Dengan
senyum khasnya Om Jono berkata.
“Ia
non trimakasih, sampai jumpa,” lalu ia menutup kaca mobil dan beranjak pergi.
Entah
mengapa air mataku tak terasa menetes kembali setelah percakapan barusan,
sambil memandangi mobil yang mulai menjauh itu aku termenung sambil mengusap
air mataku.
Bel sekolah tak lama lagi berbunyi,
akupun beranjak dari tempat dimana aku berpisah dengan Om Jono, dengan mata
yang masih berkaca-kaca aku melewati pagar sekolah, tak lama aku berjalan
tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku, sontak akupun menoleh
kebelakang, ternyata dia adalah Dhani, satu-satunya kekasihku (soalnya gak hobby
selingkuh).
“Selamat
pagi kesayanganku,” ucap Dhani sambil senyum tiga jari.
“Ia
pagi,” jawabku sambil berusaha menutupi mataku yang bengkak karena habis
menangis.
“Loh
mata kamu kenapa? kok merah? kamu abis dipukul?” tanya Dhani dengan wajah
bingung.
Dhani
memang orang yang polos, terkadang aku bingung dengan tingkah dan perkataanya,
mendengar perkataan Dhani yang polos tadi, senyumkupun mulai terlihat’
“Kok
kamu malah senyum-senyum sih? kan aku nanya tadi,” ucap Dhani dengan wajah yang
nampak semakin bingung.
Lalu
dengan nada tegas aku berkata.
“Ya
engak lah, masa aku dipukul?, memangnya kamu gak bisa bedain yang mana abis
dipukul dan yang mana abis nangis?”
“Oohh...
abis nangis, nangis karena apa?” tanya Dhani.
Padahal
aku ingin sekali bercerita banyak tentang kejadian ini kepada Dhani, namun tiba-tiba
bel sekolah berbunyi.
“Eh
udah bel tuh, aku masuk kelas dulu ya, nanti aja aku ceritanya, dadaaah,”
ucapku sambil melambaikan tangan, lalu kami menuju kelas masing-masing, akupun
siap untuk kembali bergelut dengan buku.
Jam demi jam berlalu, lembar demi
lembar buku pelajaran telah aku buka, hingga sampai pada saat-saat yang
berbahagia dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, itu adalah saat dimana
semua buku-buku tertutup, setiap siswa dan siswi berhamburan keluar kelas lalu
membuat antrian di depan tukang jajanan.
Dengan
tanpa gairah aku turut serta dalam memeriahkan waktu istirahat sekolah itu,
entah mengapa aku masih merasakan sedihnya ditinggal Om Jono, ini bahkan lebih
sedih daripada ditinggal pacar, atau jangan-jangan om Jono adalah cinta
sejatiku?, sehingga aku merasa sangat kehilangan karena perpisahan ini?, Hus
ngomong apasih? akukan sedang sedih, bukan saatnya ngomong ngelantur!.
Aku
pergi ke kantin sekolah bersama dengan sahabat-sahabatku (geng CEMUT),
sesampainya di kantin barulah mereka menyadari bahwa aku sedang bersedih
(padahal dari tadi udah ngasih kode, dasar gak peka!).
“Lo
kenapa vir? kok dari tadi lo kelihatan murung? cerita dong sama kita!” Tasya
memulai percakapan
“Ia
Tas, om Jono udah gak disini lagi, mungkin untuk waktu yang lama,” jawabku sambil
mulai berkaca-kaca kembali.
“Loh
kenapa? mulai kapan? yah gue belum sempet pamitan dong,” tanya Sarah yang juga
mulai larut dalam kesedihan.
Lalu
aku menjelaskan semua dari awal, tentang istri om Jono yang sedang sakit,
kira-kira berapa lama dia disana, sampai dimana ia bekerja nanti, semua larut
dalam kesedihan, yang mereka sayangkan adalah mereka belum sempat berpamitan
dengan om Jono, kami semua tak sanggup menahan air mata, sehingga mengundang
perhatian orang-orang di kantin yang memandang heran ke arah kami, namun kami
abaikan, namanya juga lagi sedih, atau jangan-jangan om Jono adalah cinta
sejati kami? (halah mulai ngaco lagi).
Bel tanda masuk berbunyi, semua siswa
dan siswi terpaksa meninggalkan kantin yang nyaman dan kembali duduk di kursi
panas (terlalu lama duduk membuat bangku sekolah menjadi panas).
Semua
siswa/i kembali larut dalam celotehan ibu bapak guru, semuanya sangat terlihat
semangat untuk kembali belajar (kuharap begitu). Setelah beberapa jam kami
habiskan, maka bel pulang yang dinanti-nanti berbunyi, kalau masalah yang satu
ini semua teman-teman sekelasku sangan inisiatif, sebelum bapak/ibu guru
berkata.
“Sudah
waktunya pulang, mari bereskan buku-buku kalian.”
Semua
siswa/i sudah jauh lebih dahulu membereskan buku-buku mereka (anak-anak
sekarang inisiatif).
Hari
ini adalah hari terakhir di minggu ini kami semua belajar di sekolah, karena
apa?, ya, tepat sekali, besok adalah hari minggu (yeyeye lalala yeyeye joget
kucek jemur). karena besok adalah libur akhir pekan, maka aku, Sarah, Tasya dan
Hanida memutuskan untuk berkumpul dirumahku, ya itung-itung untuk menghiburku
yang ditinggal oleh om Jono, cinta sejatiku (kok cinta sejati lagi sih?,
ngawur). Kali ini kami semua diantar oleh ayahnya Hanida, setelah duduk rapih
didalam mobil, ayahnya Hanida langsung tancap gas dengan perlahan, sontak aku
lagi-lagi teringat dengan om Jono.
Sampailah kami di rumahku yang nampak
sunyi nyaris tanpa kehidupan.
“Nah
sudah samapai, nanti pulangnya jangan terlalu sore yah, kalau ada apa-apa
telpon,” pesan ayah Hanida.
Serempak
kami mengangguk. Beberapa saat setelah ayahnya Hanida pergi meninggalkan kami,
bi Ijah membukakan pintu gerbang dan menyambut kedatangan kami.
“Dirumah
gak ada orang bi?”
“Ya
ndak ada non, oh ia, non semua mau makan apa? biar bibi siapkan.”
lalu
aku mengangguk sambil berkata.
“Ya
seperti biasa aja bi, minum dan makanannya terserah bibi, tapi harus ada
coklatnya ya”
“Iya
non bibi sudah paham kok makanan kalian,” jawab bi Ijah sambil tertaw kecil.
Kami
semua masuk kedalam rumahku, melewati teras, ruang tamu, dan barulah sampai di
depan kamarku. Tiba-tiba setelah sampai di depan kamarku, aku baru teringat
kalau di dalam kamarku banyak sekali berserakan foto-foto mesraku dengan Dhani,
aku takut menyinggung perasaan teman-temanku yang semuanya adalah seorang
jomblo hehe.
“Eits
stop dulu sampai disini!” aku langsung
menghentikan langkah kaki.
“Kenapasih?
banyak baju kotor emangnya di kamar lo? atau banyak foto cowo-cowo bugil?”
tanya Tasya yang langsung merespon perkataanku.
“Eemm
engak!, eemmm yaudah pokoknya tunggu sebentar!”
Aku
langsung bergegas masuk kedalam kamarku seorang diri dan tidak lupa mengunci
pintu, dengan sigap aku merapihkan semua foto-foto dan barang-barang yang
berhubungan dengan percintaan. Setelah semua rapih dan bersih dari segala
sesuatu yang berhubungan dengan percintaan, aku membuka pintu kamarku, terlihat
semua mata teman-temanku menyipit seperti mencurigai sesuatu.
“Udah
nyembunyiinnya?” Sarah bertanya dengan nada tegas, “nyembunyiin apa sih sayang?
udah ayuk masuk!” jawabku sambil mencoba mencairkan suasana.
Setelah masuk kedalam kamar,
masing-masing langsung bergegas mencari posisi yang nyaman, lalu aku memulai
pembicaraan.
“Ayo
kita mulai hari ini dengan bermain game!”
Semua
tidak menjawab, malah melihat kearah yang sama, kearah sesuatu yang berada di
tangan Sarah, ternyata itu adalah foto mesraku bersama Dhani, entah mengapa
foto itu ada di tangan Sarah, pasti foto itu luput dari pandanganku tadi.
“Jadi
ini yang lo sembunyiin tadi? kenapa harus disembunyiin?” tanya Sarah.
“Gak
apa-apa kok Vir, kita maklum kok disini kan yang punya pacar kan cuma lo, kita
biasa aja kok,” sambung Hanida.
Lalu
aku tersipu malu (sambil garuk-garuk dengkul, eh garuk-garuk kepala maksudnya).
“Emm
ya gua gak enak aja sama kalian, gua gak mau persahabatan kita pecah gara-gara
cowo, biasanya kan gitu kalo di TV TV.”
“Ah
kebanyakan nonton TV sih lo, pantesan muka lo kayak iklan haha,” tegas Tasya
sambil tertawa terbahak-bahak.
Ya
mungkin aku bisa terima perkataan Tasya, karena memang tiada hari tanpa
menonton FTV bagiku (maklum lah, namanya juga cewe). Tiba-tiba bi Ijah datang
mengantar makanan, betapa indahnya dunia ini, sambil menikmati berbagai macam
makanan kami larut dalam canda dan tawa, dalam hati aku berkata “aku gak mau
kehilangan semuanya”.
Satu jam berlalu.
“Eh
besok kan hari minggu yah? kemana nih yang enak?” tanya Tasya.
“Nonton
aja yuk, banyak film seru nih,” tegas Sarah.
Tiba-tiba
Hanida menepuk jidatnya dengan keras.
“plak.”
“Kenapa
lo Tas? sinih gue aja yang pukul jidat lo!” tegasku sambil tertawa.
“Bukan
gitu, besok kan minggu, masa lo semua gak inget, besok kan kita mulai latihan
Taekwondo.”
“Alahmak,
gue juga lupa, formulirnya mana? sama lo kan vir?” tanya Tasya.
“Aduh
gue juga lupa, dimana yah formulirnya?, duh beneran lupa, gimana nih kalo
ilang?”
“Wah
parah lo, masa kita baru aja mau masuk udah bikin ulah gini sih,” tegas Tasya
sambil perlahan mengambil pisang cokelat yang hanya tinggal satu itu.
“Ya
mau gimana lagi, namanya juga udah ilang, ya mau gimana lagi,” jawab Hanida
sambil melirik kearahku.
“Iya
iya, besok gua ngomong deh ke guru Taekwondo-nya,” jawabku lesu.
Beberapa
jam telah kami lewati, haripun sudah semakin gelap, satu persatu pergi
meninggalkan kamarku karena sudah dijemput untuk pulang kerumahnya
masing-masing, dimulai dari Tasya lalu disusul oleh Hanida, sekarang hanya menyisakan
aku dan sicantik Sarah.
“Lo
besok ikut kan?” tanyaku.
“Emm
boleh deh.”
“Lo
kan gak tau tempatnya, nanti bareng gue aja yah, tapi lo yang ke rumah gue, gue
nebeng hehe,” jawabku sambil agak memonyongkan bibir agar terlihat imut.
“Iye,
besok jam 7 gue udah dirumah lo ya, kalo lo masih molor gua tinggalin, gua
berangkat bareng Tasya.”
“Hehe
iya iya, dijamin gak kesiangan kok,” jawabku tetap dengan wajah yang memelas
dan sok imut.
Tidak
lama kemudian Sarahpun telah dijemput oleh kakanya, meninggalkan aku sendirian
dikamar ini, sambil membereskan kamarku yang sudah seperti kapal pecah ini, aku
baru teringat sesuatu, aku baru ingat kalau aku mau menceritakan bahwa cowok
keren berparas dingin itu adalah anaknya om Jono, tapi sudahlah, nanti juga
lama-lama tahu sendiri.
Setelah
semuanya beres, akupun menghabiskan waktuku dengan bermanja ria dengan Dhani, aku
menceritakan hal yang belum sempat aku ceritakan di sekolah tadi pagi, tentang
om Jono yang pulang kampung, berjam-jam sudah bermesraan dengan Dhani, saatnya
berpamitan dan beristirahat, aku harus bangun awal jika tidak mau ditinggal
oleh Sarah besok, lalu akupun beristirahat.
***