Minggu, 03 November 2019

Kura-Kura Ngontrak #3




Senyum-senyum genit



          Mata hari kembali datang untuk menjalankan tugasnya, aku bergegas beranjak dari tidurku, lalu kemudian mandi dan tidak lupa menggosok gigi, setelah itu membersihkan tempat tidurku, bantal guling bau pesing tadi malem aku ngompol (apasih? pagi-pagi udah gak jelas hehe).

Ada yang berbeda dengan hari ini, tak terdengan suara keras dari ruang makan, dalam hati aku berkata.
“Mungkin mamah kesiangan hari ini.”
Setelah semua beres, pakaian, buku, sepatu, dan segala sesuatu yang akan menjadi saksi bisu tentang bagaimana hariku di sekolah, akupun bergegas turun, setelah sampai dibawah, sama sekali tak terlihat mamah dan papah yang biasanya lalu–lalang.
“Loh mamah sama papah kok gak ada bi?” tanyaku kepada Bi Ijah.
“Oh saya ndak tau non, wong tadi ibu sama bapak perginya bareng pagi-pagi sekali,” tegas Bi ijah.
Tanpa banyak bertanya akupun melahap habis sarapanku lalu beranjak keluar rumah.

          Seperti biasa aku diantar oleh pembalap non-profesional (Om Jono), dengan senyumannya yang lebar sehingga membuat kumis tebalnya terangkat, Om jono membukakan aku pintu mobil.
“Selamat pagi non,” ucap Om Jono.
Lalu kami berangkat dengan agak sedikit pelan, hal ini menambah kebingunganku, setelah aku dibingungkan dengan mamah dan papah yang berangkat lebih pagi dari biasanya, dan sekarang aku dibingungkan oleh Om Jono yang membawa mobil lebih pelan dari biasanya, sebenarnya ada apa ini?.
Karena merasa sangat penasaran, aku memutuskan untuk bertanya kepada Om Jono.
“Hmm Om, kok Om jalannya pelan sih?” tanyaku kepada Om Jono.
“Ya memangnya ndak boleh? lah kan saya yang bawa mobil non,” jawab Om Jono.
Lalu aku kembali bertanya “Om mau meninggal ya?” (biasanya kalau seseorang berubah jadi baik tandanya mau meninggal, ya itusih kata orang-orang).
“Hus kamu ini, sembarangan kalau ngomong,” tegas Om Jono langsung membantah perkataanku.
Akupun tertawa melihat raut wajah Om Jono yang langsung berubah sinis.
          Hal mengejutkan tiba-tiba keluar dari ucapan Om Jono, membuat mataku berkaca-kaca.
“Non, mulai besok saya ndak bisa antar non lagi ya,” ucapnya dengan wajah murung.
Dengan mata yang berkaca-kaca aku bertanya.
“Memangnya kenapa Om? ada apa sih sebenernya?”
“Ya saya ndak bisa aja,” jawab Om Jono singkat.
“Trus aku sama siapa dong Om? dari kecil aku udah sama Om, nanti gak bisa kebut-kebutan lagi dong? ah pokoknya aku maunya sama om!” ucapku sambil menangis tersedu-sedu.
“Ya abis mau gimana non, saya mau pulang kampung soalnya istri saya sakit,” jawabnya sambil tersenyum.
“Oh jadi Om balik lagi ke Jakarta? trus nanti Om kerja apa disana?” tanyaku sambil menghapus air mata.
“Oia disana kebetulan kan dekat dengan salah satu perusahaan papah kamu, ya jadi Om disuruh bantu-bantu disana, ya paling setahun dua tahun Om menetap disana” jawabnya.
          Tidak terasa kami sampai di depan gerbang sekolah, sambil mengusap-usap mata, aku keluar dari mobil, lalu Om Jono berkata sambil membuka kaca mobil.
“Sampai jumpa ya non, lakukan apa yang kamu ingin lakukan, jangan jadi anak yang cengeng ok!”
Mendengar perkataan itu aku hanya dapat menganggukkan kepala sambil berkata.
“Ia Om, Om juga baik-baik ya disana, salam sama istrinya, aku tunggu satu atau dua tahun lagi yah,” jawabku sambil menahan haru.
Dengan senyum khasnya Om Jono berkata.
“Ia non trimakasih, sampai jumpa,” lalu ia menutup kaca mobil dan beranjak pergi.
Entah mengapa air mataku tak terasa menetes kembali setelah percakapan barusan, sambil memandangi mobil yang mulai menjauh itu aku termenung sambil mengusap air mataku.

          Bel sekolah tak lama lagi berbunyi, akupun beranjak dari tempat dimana aku berpisah dengan Om Jono, dengan mata yang masih berkaca-kaca aku melewati pagar sekolah, tak lama aku berjalan tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku, sontak akupun menoleh kebelakang, ternyata dia adalah Dhani, satu-satunya kekasihku (soalnya gak hobby selingkuh).
“Selamat pagi kesayanganku,” ucap Dhani sambil senyum tiga jari.
“Ia pagi,” jawabku sambil berusaha menutupi mataku yang bengkak karena habis menangis.
“Loh mata kamu kenapa? kok merah? kamu abis dipukul?” tanya Dhani dengan wajah bingung.
Dhani memang orang yang polos, terkadang aku bingung dengan tingkah dan perkataanya, mendengar perkataan Dhani yang polos tadi, senyumkupun mulai terlihat’
“Kok kamu malah senyum-senyum sih? kan aku nanya tadi,” ucap Dhani dengan wajah yang nampak semakin bingung.
Lalu dengan nada tegas aku berkata.
“Ya engak lah, masa aku dipukul?, memangnya kamu gak bisa bedain yang mana abis dipukul dan yang mana abis nangis?”
“Oohh... abis nangis, nangis karena apa?” tanya Dhani.
Padahal aku ingin sekali bercerita banyak tentang kejadian ini kepada Dhani, namun tiba-tiba bel sekolah berbunyi.
“Eh udah bel tuh, aku masuk kelas dulu ya, nanti aja aku ceritanya, dadaaah,” ucapku sambil melambaikan tangan, lalu kami menuju kelas masing-masing, akupun siap untuk kembali bergelut dengan buku.

          Jam demi jam berlalu, lembar demi lembar buku pelajaran telah aku buka, hingga sampai pada saat-saat yang berbahagia dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, itu adalah saat dimana semua buku-buku tertutup, setiap siswa dan siswi berhamburan keluar kelas lalu membuat antrian di depan tukang jajanan.

Dengan tanpa gairah aku turut serta dalam memeriahkan waktu istirahat sekolah itu, entah mengapa aku masih merasakan sedihnya ditinggal Om Jono, ini bahkan lebih sedih daripada ditinggal pacar, atau jangan-jangan om Jono adalah cinta sejatiku?, sehingga aku merasa sangat kehilangan karena perpisahan ini?, Hus ngomong apasih? akukan sedang sedih, bukan saatnya ngomong ngelantur!.

Aku pergi ke kantin sekolah bersama dengan sahabat-sahabatku (geng CEMUT), sesampainya di kantin barulah mereka menyadari bahwa aku sedang bersedih (padahal dari tadi udah ngasih kode, dasar gak peka!).
“Lo kenapa vir? kok dari tadi lo kelihatan murung? cerita dong sama kita!” Tasya memulai percakapan
“Ia Tas, om Jono udah gak disini lagi, mungkin untuk waktu yang lama,” jawabku sambil mulai berkaca-kaca kembali.
“Loh kenapa? mulai kapan? yah gue belum sempet pamitan dong,” tanya Sarah yang juga mulai larut dalam kesedihan.

Lalu aku menjelaskan semua dari awal, tentang istri om Jono yang sedang sakit, kira-kira berapa lama dia disana, sampai dimana ia bekerja nanti, semua larut dalam kesedihan, yang mereka sayangkan adalah mereka belum sempat berpamitan dengan om Jono, kami semua tak sanggup menahan air mata, sehingga mengundang perhatian orang-orang di kantin yang memandang heran ke arah kami, namun kami abaikan, namanya juga lagi sedih, atau jangan-jangan om Jono adalah cinta sejati kami? (halah mulai ngaco lagi).

          Bel tanda masuk berbunyi, semua siswa dan siswi terpaksa meninggalkan kantin yang nyaman dan kembali duduk di kursi panas (terlalu lama duduk membuat bangku sekolah menjadi panas).

Semua siswa/i kembali larut dalam celotehan ibu bapak guru, semuanya sangat terlihat semangat untuk kembali belajar (kuharap begitu). Setelah beberapa jam kami habiskan, maka bel pulang yang dinanti-nanti berbunyi, kalau masalah yang satu ini semua teman-teman sekelasku sangan inisiatif, sebelum bapak/ibu guru berkata.
“Sudah waktunya pulang, mari bereskan buku-buku kalian.”
Semua siswa/i sudah jauh lebih dahulu membereskan buku-buku mereka (anak-anak sekarang inisiatif).

Hari ini adalah hari terakhir di minggu ini kami semua belajar di sekolah, karena apa?, ya, tepat sekali, besok adalah hari minggu (yeyeye lalala yeyeye joget kucek jemur). karena besok adalah libur akhir pekan, maka aku, Sarah, Tasya dan Hanida memutuskan untuk berkumpul dirumahku, ya itung-itung untuk menghiburku yang ditinggal oleh om Jono, cinta sejatiku (kok cinta sejati lagi sih?, ngawur). Kali ini kami semua diantar oleh ayahnya Hanida, setelah duduk rapih didalam mobil, ayahnya Hanida langsung tancap gas dengan perlahan, sontak aku lagi-lagi teringat dengan om Jono.

          Sampailah kami di rumahku yang nampak sunyi nyaris tanpa kehidupan.
“Nah sudah samapai, nanti pulangnya jangan terlalu sore yah, kalau ada apa-apa telpon,” pesan ayah Hanida.
Serempak kami mengangguk. Beberapa saat setelah ayahnya Hanida pergi meninggalkan kami, bi Ijah membukakan pintu gerbang dan menyambut kedatangan kami.
“Dirumah gak ada orang bi?”
“Ya ndak ada non, oh ia, non semua mau makan apa? biar bibi siapkan.”
lalu aku mengangguk sambil berkata.
“Ya seperti biasa aja bi, minum dan makanannya terserah bibi, tapi harus ada coklatnya ya”
“Iya non bibi sudah paham kok makanan kalian,” jawab bi Ijah sambil tertaw kecil.
Kami semua masuk kedalam rumahku, melewati teras, ruang tamu, dan barulah sampai di depan kamarku. Tiba-tiba setelah sampai di depan kamarku, aku baru teringat kalau di dalam kamarku banyak sekali berserakan foto-foto mesraku dengan Dhani, aku takut menyinggung perasaan teman-temanku yang semuanya adalah seorang jomblo hehe.
“Eits stop dulu sampai disini!”  aku langsung menghentikan langkah kaki.
“Kenapasih? banyak baju kotor emangnya di kamar lo? atau banyak foto cowo-cowo bugil?” tanya Tasya yang langsung merespon perkataanku.
“Eemm engak!, eemmm yaudah pokoknya tunggu sebentar!”

Aku langsung bergegas masuk kedalam kamarku seorang diri dan tidak lupa mengunci pintu, dengan sigap aku merapihkan semua foto-foto dan barang-barang yang berhubungan dengan percintaan. Setelah semua rapih dan bersih dari segala sesuatu yang berhubungan dengan percintaan, aku membuka pintu kamarku, terlihat semua mata teman-temanku menyipit seperti mencurigai sesuatu.
“Udah nyembunyiinnya?” Sarah bertanya dengan nada tegas, “nyembunyiin apa sih sayang? udah ayuk masuk!” jawabku sambil mencoba mencairkan suasana.
          Setelah masuk kedalam kamar, masing-masing langsung bergegas mencari posisi yang nyaman, lalu aku memulai pembicaraan.
“Ayo kita mulai hari ini dengan bermain game!”
Semua tidak menjawab, malah melihat kearah yang sama, kearah sesuatu yang berada di tangan Sarah, ternyata itu adalah foto mesraku bersama Dhani, entah mengapa foto itu ada di tangan Sarah, pasti foto itu luput dari pandanganku tadi.
“Jadi ini yang lo sembunyiin tadi? kenapa harus disembunyiin?” tanya Sarah.
“Gak apa-apa kok Vir, kita maklum kok disini kan yang punya pacar kan cuma lo, kita biasa aja kok,” sambung Hanida.
Lalu aku tersipu malu (sambil garuk-garuk dengkul, eh garuk-garuk kepala maksudnya).
“Emm ya gua gak enak aja sama kalian, gua gak mau persahabatan kita pecah gara-gara cowo, biasanya kan gitu kalo di TV TV.”
“Ah kebanyakan nonton TV sih lo, pantesan muka lo kayak iklan haha,” tegas Tasya sambil tertawa terbahak-bahak.

Ya mungkin aku bisa terima perkataan Tasya, karena memang tiada hari tanpa menonton FTV bagiku (maklum lah, namanya juga cewe). Tiba-tiba bi Ijah datang mengantar makanan, betapa indahnya dunia ini, sambil menikmati berbagai macam makanan kami larut dalam canda dan tawa, dalam hati aku berkata “aku gak mau kehilangan semuanya”.
          Satu jam berlalu.
“Eh besok kan hari minggu yah? kemana nih yang enak?” tanya Tasya.
“Nonton aja yuk, banyak film seru nih,” tegas Sarah.
Tiba-tiba Hanida menepuk jidatnya dengan keras.
“plak.”
“Kenapa lo Tas? sinih gue aja yang pukul jidat lo!” tegasku sambil tertawa.
“Bukan gitu, besok kan minggu, masa lo semua gak inget, besok kan kita mulai latihan Taekwondo.”
“Alahmak, gue juga lupa, formulirnya mana? sama lo kan vir?” tanya Tasya.
“Aduh gue juga lupa, dimana yah formulirnya?, duh beneran lupa, gimana nih kalo ilang?”
“Wah parah lo, masa kita baru aja mau masuk udah bikin ulah gini sih,” tegas Tasya sambil perlahan mengambil pisang cokelat yang hanya tinggal satu itu.
“Ya mau gimana lagi, namanya juga udah ilang, ya mau gimana lagi,” jawab Hanida sambil melirik kearahku.
“Iya iya, besok gua ngomong deh ke guru Taekwondo-nya,” jawabku lesu.
Beberapa jam telah kami lewati, haripun sudah semakin gelap, satu persatu pergi meninggalkan kamarku karena sudah dijemput untuk pulang kerumahnya masing-masing, dimulai dari Tasya lalu disusul oleh Hanida, sekarang hanya menyisakan aku dan sicantik Sarah.
“Lo besok ikut kan?” tanyaku.
“Emm boleh deh.”
“Lo kan gak tau tempatnya, nanti bareng gue aja yah, tapi lo yang ke rumah gue, gue nebeng hehe,” jawabku sambil agak memonyongkan bibir agar terlihat imut.
“Iye, besok jam 7 gue udah dirumah lo ya, kalo lo masih molor gua tinggalin, gua berangkat bareng Tasya.”
“Hehe iya iya, dijamin gak kesiangan kok,” jawabku tetap dengan wajah yang memelas dan sok imut.

Tidak lama kemudian Sarahpun telah dijemput oleh kakanya, meninggalkan aku sendirian dikamar ini, sambil membereskan kamarku yang sudah seperti kapal pecah ini, aku baru teringat sesuatu, aku baru ingat kalau aku mau menceritakan bahwa cowok keren berparas dingin itu adalah anaknya om Jono, tapi sudahlah, nanti juga lama-lama tahu sendiri.

Setelah semuanya beres, akupun menghabiskan waktuku dengan bermanja ria dengan Dhani, aku menceritakan hal yang belum sempat aku ceritakan di sekolah tadi pagi, tentang om Jono yang pulang kampung, berjam-jam sudah bermesraan dengan Dhani, saatnya berpamitan dan beristirahat, aku harus bangun awal jika tidak mau ditinggal oleh Sarah besok, lalu akupun beristirahat.



***


Minggu, 20 Oktober 2019

Kura-Kura Ngontrak #2





RIUH PIKUK RUMAH

Sesampainya di rumah, aku hanya disambut oleh Bi Ijah (pembantu rumah tangga di keluargaku), tanpa bertanya kemana Mamah dan Papah, karena keadaan ini sudah menjadi sangat biasa bagiku, kedua orangtuaku yang memiliki pekerjaan masing-masing sehingga membuatnya jarang dirumah, dan akupun memaklumi itu semua.

Jam dinding kamarku menunjukan pukul 19.00, aku beranjak dari depan TV dan memegang buku yang bertuliskan MTK, tak terlalu lama aku mempelajarinya akupun melanjutkan menonton TV, terdengar suara telpon selulerku berbunyi, ternyata itu adalah pesan singkat dari pacarku.
“Hai sayang, Mamah Papahmu pasti gak tau kemana haha.”
Aku memiliki seseorang yang spesial, Dhani namanya, dia adalah anak kelas XII ipa 2, dia anak yang sangat periang dan kadang menjengkelkan.
“Tertawalah kamu!” jawabku ketus.
Aku habiskan malam itu dengan bermanja ria dengan Dhani. Jam dinding yang sama telah berubah menunjukan pukul 24:00, aku merasa lelah dan langsung memejamkan mataku, belum terlelap dengan pulas terdengar suara mobil Papah yang disusul oleh suara mobil Mamah, dan aku melanjutkan tidurku.

          Pagi telah tiba, saatnya aku berangkat ke sekolah, dengan diiringi kejadian dan ocehan yang sama setiap paginya aku berangkat ke sekolah, yang berbeda adalah hari ini aku tak di antar oleh om Jono, dia akan mengantar ayahku yang nampaknya tak terlihat sehat untuk membawa mobilnya sendirian.

Motor vespa antik telah menungguku di depan rumah, dan itu adalah Dhani, dia selalu hadir di saat aku membutuhkannya, itu yang membuat aku semakin sayang padanya. Tak perlu menjerit minta tolong pagi hari ini, dengan suara khas motor vespa kami menuju sekolah dengan pelan dan pasti.

Sesampainya di sekolah kami tak menunggu lama untuk mendengar suara bel masuk (sangat jauh berbeda dengan om Jono yang selalu membuatku menunggu sangat lama untuk mendengar suara bel masuk).
“sanah kamu masuk duluan,” Dhani berkata sambil merapikan posisi motornya.
Aku berlari meninggalkan Dhani yang masih berada di parkiran. Pelajaran jam pertama hari ini adalah MTK, semua terlihat mengeluh (pagi-pagi udah MTK), namun berbeda denganku, aku sangat bersiap untuk belajar hari ini, beberapa pertanyaan aku jawab dengan benar, mambuat semuanya heran karena aku selalu bolak-balik ke papan tulis untuk menjawab soal.


Para pecinta palsu


       Langsung saja masuk pada pelajaran terakhir di hari ini, Bahasa Inggris!!, mungkin dari semua pelajaran yang ditempatkan pada jam-jam akhir, Bahasa Inggrislah pelajaran yang menurutku adalah pelajaran yang paling tidak membuat kepala terasa menggunakan helm full face bapak-bapak, karena guru yang mengajar begitu sangat tampan, sehingga membuat mata para wanita di kelas hampir tak terlihat kedipannya, meskipun aku tak tahu apa yang sebenarnya mereka pikirkan dibalik tatapan serius mereka.

Tapi mungkin keajaiban itu tidak berlaku untuk siswa laki-laki di kelas, karena mereka tetap saja terlihat sangat mengantuk (kasihan kaum lelaki itu), namun itu merupakan sesuatu yang wajar, karena aku tidak bisa membayangkan ada seorang laki-laki yang memandang serius ke Mr.Tyo (itu nama guru yang tampannya gak kalah sama Tora Sudiro).

          Bel berbunyi, kamipun segera meninggalkan kelas. Hari ini sarah tidak dapat berkumpul, ia diminta untuk segera pulang sehabis pulang sekolah, acara keluarga katanya.
Kejutan datang, ternyata Om Jono telah menunggu diparkiran.
“Loh kok Om ada disini?” tanyaku.
“Lah memang Om kan nunggunya diparkiran, masa Om nunggu didalem kelas non.” jawab Om Jono sambil tertawa kecil.
Tanpa bertanya banyak karena akan memakan waktu panjang, kami masuk kedalam mobil. Kami mencari tempat untuk kami berlatih Tae-kwondo, banyak tempat kami singgahi, dari mulai komplek hingga perkampungan yang kumuh, namun kami belum menemukan tempat dimana orang-orang berseragam putih dengan sabuk yang berwarna-warni.
“Sebenernya kita mau kemana sih non?” tanya om Jono.
 “Ini loh om, sebenernya kita lagi cari tempat buat latihan taekwondo,” jawabku.
 “Oh kalo itu sih saya tau.”
 “Haduh kenapa gak bilang dari tadi sih om,” jawabku agak sedikit gondok.
“Ya orang non gak tanya, ya om mana tahu,” ujar om jono.

         Tanpa banyak basa-basi aku dan teman-temanku pergi ke ketempat yang rupanya tak jauh dari sekolah, setelah om jono memarkir mobil dengan seenaknya, kamipun turun didampingi om Jono, om Jono mengantar kami kepada seseorang yang berparas dingin, tinggi, putih, ganteng, dan terlihat pula sabuk hitam melingkar di pinggang cowok misterius itu.

Tanpa kami memulai untuk menyapa, cowok itu ternyata menghampiri kami terlebih dahulu sambil berteriak kepada semua orang yang ada disana.
“Ok kita istirahat dulu!.”
Ketika cowok itu berada di depan kami, tak ada satu orangpun yang memulai pembicaraan dari kami.
“ada apa pak?” sapa cowok itu menghadap ke om Jono sambil mencium tangan om Jono.
 kami semua terheran-heran, siapa cowok itu sebenarnya?
“Oh ini non Shavira sama temen-temennya mau ikutan taekwondo,” ucap om Jono.
Tak ada kata-kata lain selain kata, “iya” sambil menganggukan kepala dan diselimuti kebingungan.
“Ok kalo begitu hari minggu kalian bisa datang kembali dengan formulir yang sudah terisi ya!” ujar cowok itu sembil memberikan beberapa lembar formulir pendaftaran (tetap dengan raut wajah yang sangat dingin).

          Setelah mendapatkan formulir kami segera menuju mobil, karena hari semakin gelap om Jono tak mau berurusan dengan orang tua masing-masing temanku, jadi dia memacu mobilnya dengan sangat cepat, membuat kami serasa sedang berada di permainan Dunia Fantasi.

Setelah mengantar Tasya dan Hanida, aku dan om Jono melanjutkan perjalanan menuju rumah, lalu aku teringat kejadian di tempat latihan tadi, kenapa cowok itu begitu hormat kepada om Jono?
“Om kok tadi guru taekwondonya cium tangan sih sama om?” tanyaku heran.
 “Oh itu Raka anak om,” jawabnya sambil memutar stir mobil ke arah kiri.
“Hah?? (adegan kaget sambil kamera zoom in ala sinetron), kok aku gak tau sih om punya anak.”
“Ya memangnya saya harus bawa anak saya selagi kerja non?” jawab om Jono heran.
          Perbincanganpun terhenti dan kamipun mulai dekat dengan gerbang rumahku, sambil turun dari mobil, aku memikirkan bagaimana raut wajah Tasya, Hanida dan Sarah jika aku beri tahu bahwa cowok yang cool itu tidak lain tidak bukan adalah anak dari pembalap non-profesional yaitu om Jono.

Sambil menahan senyum aku masuk ke dalam kamar,  dan melakukan sedikit gulatan dengan beberapa buku, aku sengaja tidak mengabarkan hal lucu itu lewat Surat telepon (SMS), karena aku ingin melihat langsung raut wajah teman-temanku secara langsung. Dengan membasuh wajah yang kotor, menggosok gigi, dan mematikan lampu, aku tutup hariku yang melelahkan ini.


***


Rabu, 16 Oktober 2019

Kura-kura ngontrak #1



KURA-KURA NGONTRAK #1






Kenal-kenalan


          “Shavira... bangun! liat sudah jam berapa? apa kamu tidak mau sekolah?” kata-kata itu yang selalu terdengar ketika pagi hari, teriakan mamah dari ruang tamu cukup keras hingga sampai ke kamarku yang berada di lantai dua. Hari ini aku harus berangkat kesekolah lagi, libur akhir pekan memang terasa sangat cepat setiap minggunya.
“Shavira! cepat keluar dari kamar!” teriakan itu semakin kencang, dan tandanya aku memang benar-benar harus turun dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

          Setelah membersihkan diri, aku sedikit mendandani rambut dan wajahku, agar terlihat cantik hari ini (setidaknya menurutku sendiri), dan tak lupa gelang rajutan berwarna cokelat muda menghiasi pergelangan tanganku, karena itu adalah sebuah simbol bahwa aku adalah anggota geng “CEMUT” (cewe imut).

Itu adalah geng yang lumayan terkenal di sekolahku, sekolah SMA BUDI DHARMA JAKARTA  adalah tempat yang selalu aku kunjungi setiap hari, aku berada di kelas XI IPA 1, dan semua anggota geng cemut ada di kelas itu, geng yang hanya beranggotakan empat orang itu terdiri dari Tasya (si pesek yang tangguh) kekuatannya boleh diadu!, Hanida (si kuku berkutek ganti-ganti) dia bisa mengubah warna kuteknya setiap hari, Sarah (si bunga sekolah) setiap harinya bisa terdapat dua sampai lima surat cinta di atas mejanya dari cowok yang berbeda, dan yang terakhir adalah aku Shavira (orang-orang biasanya memanggilku si tomboi yang tampan) mungkin karana potongan rambutku yang pendek ala boy band Korea sehingga orang-orang memanggilku seperti itu.

          Sarapan pagi telah aku telan dengan lancar, diiringi ocehan mamah yang tidak pernah berhenti, membuat aku hapal apa yang akan dia katakan.
“Shavira dengarkan kata-kata ibu guru! jangan nakal di kelas! jangan jajan sembarangan dan bla bla bla...,” (karena mamah selalu mengulang kata-kata itu setiap pagi).

Mamah memang orang yang sangat cerewet, tapi aku tau itu adalah bentuk kasih sayangnya kepadaku. Aku pergi ke sekolah diantar oleh om Jono, dia adalah supir keluargaku, di depan mata mamah dan papah dia adalah supir yang sangat hati-hati dan tidak ceroboh, mementingkan keselamatan dengan berjalan agak sedikit pelan, tetapi di belakang mata mamah dan papah, dia adalah supir yang sangat ceroboh, tak pernah tidak melanggar lampu merah.
“Maaf naluri pembalap non.”
Itu yang sering dikatakannya ketika aku kerap kali berteriak minta tolong di dalam mobilku sendiri, (huh sungguh sangat menyebalkan bapak tua itu).

          Hanya butuh waktu 30 menit untuk sampai di depan gerbang sekolahku, lebih cepat 30 menit juga dari orang yang mengendarai mobil dengan normal, hal itu yang membuat aku yakin bahwa om Jono memang seorang pembalap ketika muda. Namun hal itu tidak membawa keberuntungan bagiku, aku kerap kali menjadi orang pertama yang datang ke sekolah, bahkan lebih awal dari penjaga sekolah.



Geng Cemut


          Seiring waktu berjalan, sekolang yang sepi itu kini menjadi ramai, semua siswa mulai berdatangan, tanpa terkecuali geng CEMUT-ku. Setelah beberapa menit bercanda gurau dan membuat rencana apa yang akan kami lakukan setelah pulang sekolah, belpun berbunyi, tandanya semua siswa harus masuk ke kelas, akupun dan semua yang ada di sekitarku bergegas masuk ke kelas (“kecuali om Jono!” karena aku gak mau teriak-teriak histeris minta tolong di dalam kelas! sudah cukup di dalam mobil aja).

Pelajaranpun dimulai, tak ada pelajaran yang tak aku suka, semua pelajaran aku gemari, terlebih lagi berhitung, mungkin karena aku telah terbiasa menghitung sejak aku duduk di bangku taman kanak-kanak (ngitungin uang jajan). Aku terkenal sebagai anak yang berprestasi, aku adalah yang terbaik di kelas, dan ke tiga anggota geng CEMUT-kupun berjejer di bawahku secara berturt-turut, meskipun kami anak-anak yang nakal tapi kami selalu bisa mengatasi pelajaran dengan baik. Aku duduk di bangku ke tiga dari depan, yang barisannya merapat ke tembok, jauh dari meja guru. Di depanku adalah bangku Tasya, disamping kiriku adalah bangku Hanida dan di belakangku adalah bangku Sarah, kami kerap kali dipergoki sedang mengobrol oleh bapak dan ibu guru.

          Pelajaran terakhir hari ini adalah pelajaran sejarah, pelajaran yang sangat membuat kami semua yang berada di kelas berjuang untuk mengangkat kelopak mata, karena guru yang mengajar hanya bercerita tanpa memberi satu pertanyaanpun kepada kami. Aku rasa aku sudah mulai hampir menyerah, kelopak mataku terasa seperti terbuat dari besi, sangat berat sekali untuk mengangkatnya.
“Mungkin aku kurang tidur semalam, sehingga aku sangat mengantuk tak seperti biasanya.”
Aku memandang ke arah depan, terlihat Tasya yang telah mengeluarkan buih dari mulutnya dengan buku didepan mukanya, untuk menghalangi pandangan bapak guru sejarah ke bangkunya. Aku melirik ke sebelah kiri, lalu aku melihat Hanida yang seolah mempunyai kepala yang terbuat dari besi baja yang sangat berat, kepalanya terolang-oleng seperti sedang melakukan pemanasan senam pramuka, lalu aku memutuskan menoleh ke belakang untuk mengetahui keadaan Sarah, aku berharap dia lebih baik dariku, Tasya dan Hanida. Setelah aku menoleh ke belakang, yang terlihat adalah sesosok wanita yang memejamkan matanya beralaskan jaket (tapi tetep seolah-olah banyak sekali bertebaran bunga di sekitar sarah, meskipun sedang tidur, dia masih sangat terlihat cantik). Dan akupun menyadari, bahwa bukan karena aku tidur larut malam penyebab aku mengantuk, tetapi dongeng dari Bapak guru sejarahlah penyebabnya.
“Kring.. kring.. kring..”

          Bel tanda pelajaran usai telah berbunyi, semua siswa terlihat sangat segar dari sebelumnya, saat-saat yang paling di tunggu anak sekolah memang adalah suara bel tanda pelajaran berakhir, karena itu seperti suara kebebasan.

Hari ini adalah saatnya geng CEMUT berkumpul di luar sekolah, dengan melaksanakan tradisi yang telah lama terjadi, kami melakukan “GAMBRENG” (tradisi yang menentukan rumah siapa yang akan menjadi tempat berkumpul geng). Setelah tradisi dilaksanakan, rumah Hanidalah yang akhirnya menjadi tempat kami berkumpul, lalu dengan nada serius aku menawarkan mobilku untuk mengantarkan kami semua.
“udah naik mobil gue aja ok!!” serentak semua mengangguk.
          Dengan senyumman khasnya, Om Jono membukakan pintu mobil sambil bertanya.
“Rumah siapa yang jadi korban kali ini non?”
“Hanida om”, aku menjawab sambil menyipitkan mata (meniru pemeran antagonis di sinetron- sinetron).

Beberapa saat suara pintu mobil terdengar terhantam, tanda bahwa kami siap berangkat, dengan sigap om Jono menginjak pedal gas dengan kekuatan penuh, semua teman-temanku berteriak minta tolong, namun aku terdiam menahan rasa takutku agar tak terlihat oleh teman-temanku.

Sesampainya di rumah Hanida aku dan geng CEMUT masuk ke dalam kamar Hanida, tak menunggu beberapa lama makanan ringan dan minuman diantar oleh Bi Imah (pembantunya Hanida).
“Makasih ya Bi” teriak Hanida yang langsung asik membuka plastik makanan ringan.
“Ya non” jawab Bi Imah singkat dan bergegas meninggalkan kami dari kamar Hanida.
Setiap geng pasti memiliki geng yang berkontra dengan geng itu, kamipun sama, geng SWEET GIRL, itu adalah geng yang menandingi ketenaran kami di sekolah, geng yang terdiri dari anak kelas XI IPS 2 itu selalu membuat ulah yang membuat kami kerap kali naik pitam.
“Rapat kali ini adalah membahas tentang geng SG yang sekarang menggeluti ekskul TaeKwonDo” suara Sarah terdengar agak kesal.
 Dan suasanapun menjadi agak serius.
”Kalau begitu kenapa kita tidak ikut serta dalam beladiri itu?” tanyaku sambil mengacungkan tangan.
“Setuju” semua serempak menjawab.

Hari itu kami membahas tentang Tae-kwondo, mencari di beberapa buku dan internet, agar kami sedikit mengetahui tentang bela diri itu sebelum kami semua menggelutinya. Waktu bergulir dengan cepat, kini kami harus pulang, aku bergegas menghampiri om Jono yang telah menunggu bak perangkap tikus, akupun masuk ke dalam mobil dan bersiap melakukan beberapa kali teriakan.
***

Rabu, 08 Februari 2017

Kenapa Dia Kaya Dan Aku Tidak? Apakah Tuhan Itu Adil?



Kenapa aku miskin dan dia kaya?

Kaya dan miskin adalah ketentuan Tuhan, tidak lepas dengan tingkat usaha yang telah diperbuat manusia, karena sekeras apapun seseorang berusaha, tanpa kehendak tuhan semua menjadi mustahil, begitupun sebaliknya.


Apakah tuhan itu adil?

jika ditanyakan "apakah Tuhan itu adil?" maka jawaban yang pasti adalah, "Ya, Tuhan itu maha adil."
tidak dipungkiri kebanyakan orang pernah bertanya mengenai hal ini didalam hatinya, biasanya disebabkan karena rasa iri kepada seseorang, ataupun dalam keadaan dilema oleh kegagalan.

Seseorang yang merasa iri atau larut dalam kegagalannya akan selalu mencari alasan untuk menyalahkan atau melimpahkan kekecewaannya ataupun kekesalannya kepada orang lain, bahkan kepada Tuhan sekalipun, kenapa? karena seseorang akan selalu menganggap usaha yang dilakukannya adalah usaha yang sangat maksimal, oleh sebab itu ia akan mencari faktor lain selain usaha, yaitu takdir/ ketentuan Tuhan.

Sebenarnya Tuhan adalah sang maha adil, saya akan menjelaskan ini dengan contoh yang simpel.

Ibaratkan rezeki itu adalah hujan, Tuhan akan menurunkan hujan dengan kapasitas yang sama, siapapun yang berada dibawah hujan tersebut akan terkena air dan kebasahan, hal itu menandakan bahwa Tuhan memberikan kita limpahan rezeki yang sama.

Lalu apa yang membuat rezeki saya dengan rezeki dia berbeda?
jawabannya adalah "karena kapasitas diri kamu dan orang lain berbeda."

baiklah, saya akan memberikan contoh kembali.

ibaratkan Tuhan memberikan hujan yang berkapasitas sama (rezeki), lalu ibaratkan kamu adalah sebuah cangkir kopi, dan orang yang kamu bandingkan adalah sebuah ember.
kamu letakan cangkir dan ember tiu bersandingan dibawah guyuran hujan, apa yang akan terjadi?

Ya, tentusaja semuanya akan terisi penuh dengan air hujan, tapi apa yang membedakannya?
Tepat sekali. Sebuah cangkir kopi akan menampung sebanyak yang bisa ditampung oleh secangkir kopi, dan begitupula sebuah ember, walaupun keduanya terisi penuh hingga meluber, cangkir dan ember tersebut hanya bisa menampung sesuai kapasitasnya.

Dari penjelasan tersebut, dapat kita ketahui, bahwa rezeki seseorang yang diturunkan oleh Tuhan adalah sama, hanya seberapa banyak yang bisa kita tampung itu tergantung kapasitas kepribadian kita, bagaimana cari untuk memperbesar kapasitas kita? ya tentu saja dengan berilmu, beriman dan bertakwa.

semoga penjelasan yang singkat ini dapat membantu memotivasi kepribadian kita utuk menjadi manusia yang lebih bersyukur dan bernalar, Amin.

Senin, 06 Februari 2017

pengalaman masa kecil

" Ni lebaran, Encinglu biasanye kemari, tapi kalo mau maen ame temen-temenlu sono gak ape-ape."

Makku memberi pilihan keputusanku.Ah paling encing datang siang, main dahulu baru setelah siang pulang . Aku putuskan untuk ikut jalan-jalan ,bermain dengan teman-teman di hari raya yang ramai." Lha, dari tadi encinglu nungguin .Lu gak pulang-pulang ,ya udah die pulang". Lemas aku dibuatnya dengan perkataan makku.Pasalnya,sudah menjadi kebiasaan encing kalo lebaran suka memberi ampau dan isinya khusus untukku pasti melebihi yang lain.Aku menyesal. Coba tunggu encing dulu,baru main dengan teman ,pasti aku dapat keduanya. Dapat ampau dan bisa bermain Pelajaran dari makku, apabila mengambil keputusan hendaklah dipikir dahulu,dikaji jangan mengambil keputusan dengan perasaan