“Shavira... bangun! liat sudah jam
berapa? apa kamu tidak mau sekolah?” kata-kata itu yang selalu terdengar ketika
pagi hari, teriakan mamah dari ruang tamu cukup keras hingga sampai ke kamarku
yang berada di lantai dua. Hari ini aku harus berangkat kesekolah lagi, libur
akhir pekan memang terasa sangat cepat setiap minggunya.
“Shavira!
cepat keluar dari kamar!” teriakan itu semakin kencang, dan tandanya aku memang
benar-benar harus turun dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Setelah membersihkan diri, aku sedikit
mendandani rambut dan wajahku, agar terlihat cantik hari ini (setidaknya
menurutku sendiri), dan tak lupa gelang rajutan berwarna cokelat muda menghiasi
pergelangan tanganku, karena itu adalah sebuah simbol bahwa aku adalah anggota
geng “CEMUT” (cewe imut).
Itu
adalah geng yang lumayan terkenal di sekolahku, sekolah SMA BUDI DHARMA JAKARTA
adalah tempat yang selalu aku kunjungi
setiap hari, aku berada di kelas XI IPA 1, dan semua anggota geng cemut ada di
kelas itu, geng yang hanya beranggotakan empat orang itu terdiri dari Tasya (si
pesek yang tangguh) kekuatannya boleh diadu!, Hanida (si kuku berkutek
ganti-ganti) dia bisa mengubah warna kuteknya setiap hari, Sarah (si bunga
sekolah) setiap harinya bisa terdapat dua sampai lima surat cinta di atas
mejanya dari cowok yang berbeda, dan yang terakhir adalah aku Shavira
(orang-orang biasanya memanggilku si tomboi yang tampan) mungkin karana
potongan rambutku yang pendek ala boy band Korea sehingga orang-orang
memanggilku seperti itu.
Sarapan pagi telah aku telan dengan
lancar, diiringi ocehan mamah yang tidak pernah berhenti, membuat aku hapal apa
yang akan dia katakan.
“Shavira
dengarkan kata-kata ibu guru! jangan nakal di kelas! jangan jajan sembarangan
dan bla bla bla...,” (karena mamah selalu mengulang kata-kata itu setiap pagi).
Mamah
memang orang yang sangat cerewet, tapi aku tau itu adalah bentuk kasih
sayangnya kepadaku. Aku pergi ke sekolah diantar oleh om Jono, dia adalah supir
keluargaku, di depan mata mamah dan papah dia adalah supir yang sangat
hati-hati dan tidak ceroboh, mementingkan keselamatan dengan berjalan agak
sedikit pelan, tetapi di belakang mata mamah dan papah, dia adalah supir yang
sangat ceroboh, tak pernah tidak melanggar lampu merah.
“Maaf
naluri pembalap non.”
Itu
yang sering dikatakannya ketika aku kerap kali berteriak minta tolong di dalam
mobilku sendiri, (huh sungguh sangat menyebalkan bapak tua itu).
Hanya butuh waktu 30 menit untuk
sampai di depan gerbang sekolahku, lebih cepat 30 menit juga dari orang yang
mengendarai mobil dengan normal, hal itu yang membuat aku yakin bahwa om Jono
memang seorang pembalap ketika muda. Namun hal itu tidak membawa keberuntungan
bagiku, aku kerap kali menjadi orang pertama yang datang ke sekolah, bahkan
lebih awal dari penjaga sekolah.
Geng Cemut
Seiring waktu berjalan, sekolang yang
sepi itu kini menjadi ramai, semua siswa mulai berdatangan, tanpa terkecuali
geng CEMUT-ku. Setelah beberapa menit bercanda gurau dan membuat rencana apa
yang akan kami lakukan setelah pulang sekolah, belpun berbunyi, tandanya semua
siswa harus masuk ke kelas, akupun dan semua yang ada di sekitarku bergegas
masuk ke kelas (“kecuali om Jono!” karena aku gak mau teriak-teriak histeris minta
tolong di dalam kelas! sudah cukup di dalam mobil aja).
Pelajaranpun
dimulai, tak ada pelajaran yang tak aku suka, semua pelajaran aku gemari,
terlebih lagi berhitung, mungkin karena aku telah terbiasa menghitung sejak aku
duduk di bangku taman kanak-kanak (ngitungin uang jajan). Aku terkenal sebagai
anak yang berprestasi, aku adalah yang terbaik di kelas, dan ke tiga anggota
geng CEMUT-kupun berjejer di bawahku secara berturt-turut, meskipun kami
anak-anak yang nakal tapi kami selalu bisa mengatasi pelajaran dengan baik. Aku
duduk di bangku ke tiga dari depan, yang barisannya merapat ke tembok, jauh
dari meja guru. Di depanku adalah bangku Tasya, disamping kiriku adalah bangku
Hanida dan di belakangku adalah bangku Sarah, kami kerap kali dipergoki sedang
mengobrol oleh bapak dan ibu guru.
Pelajaran terakhir hari ini adalah
pelajaran sejarah, pelajaran yang sangat membuat kami semua yang berada di
kelas berjuang untuk mengangkat kelopak mata, karena guru yang mengajar hanya
bercerita tanpa memberi satu pertanyaanpun kepada kami. Aku rasa aku sudah
mulai hampir menyerah, kelopak mataku terasa seperti terbuat dari besi, sangat
berat sekali untuk mengangkatnya.
“Mungkin
aku kurang tidur semalam, sehingga aku sangat mengantuk tak seperti biasanya.”
Aku
memandang ke arah depan, terlihat Tasya yang telah mengeluarkan buih dari
mulutnya dengan buku didepan mukanya, untuk menghalangi pandangan bapak guru
sejarah ke bangkunya. Aku melirik ke sebelah kiri, lalu aku melihat Hanida yang
seolah mempunyai kepala yang terbuat dari besi baja yang sangat berat,
kepalanya terolang-oleng seperti sedang melakukan pemanasan senam pramuka, lalu
aku memutuskan menoleh ke belakang untuk mengetahui keadaan Sarah, aku berharap
dia lebih baik dariku, Tasya dan Hanida. Setelah aku menoleh ke belakang, yang
terlihat adalah sesosok wanita yang memejamkan matanya beralaskan jaket (tapi
tetep seolah-olah banyak sekali bertebaran bunga di sekitar sarah, meskipun
sedang tidur, dia masih sangat terlihat cantik). Dan akupun menyadari, bahwa
bukan karena aku tidur larut malam penyebab aku mengantuk, tetapi dongeng dari
Bapak guru sejarahlah penyebabnya.
“Kring.. kring.. kring..”
Bel
tanda pelajaran usai telah berbunyi, semua siswa terlihat sangat segar dari
sebelumnya, saat-saat yang paling di tunggu anak sekolah memang adalah suara
bel tanda pelajaran berakhir, karena itu seperti suara kebebasan.
Hari ini adalah
saatnya geng CEMUT berkumpul di luar sekolah, dengan melaksanakan tradisi yang
telah lama terjadi, kami melakukan “GAMBRENG” (tradisi yang menentukan rumah
siapa yang akan menjadi tempat berkumpul geng). Setelah tradisi dilaksanakan,
rumah Hanidalah yang akhirnya menjadi tempat kami berkumpul, lalu dengan nada
serius aku menawarkan mobilku untuk mengantarkan kami semua.
“udah naik mobil gue
aja ok!!” serentak semua mengangguk.
Dengan senyumman khasnya, Om Jono
membukakan pintu mobil sambil bertanya.
“Rumah siapa yang jadi
korban kali ini non?”
“Hanida om”, aku
menjawab sambil menyipitkan mata (meniru pemeran antagonis di sinetron-
sinetron).
Beberapa saat suara
pintu mobil terdengar terhantam, tanda bahwa kami siap berangkat, dengan sigap
om Jono menginjak pedal gas dengan kekuatan penuh, semua teman-temanku
berteriak minta tolong, namun aku terdiam menahan rasa takutku agar tak
terlihat oleh teman-temanku.
Sesampainya
di rumah Hanida aku dan geng CEMUT masuk ke dalam kamar Hanida, tak menunggu
beberapa lama makanan ringan dan minuman diantar oleh Bi Imah (pembantunya
Hanida).
“Makasih
ya Bi” teriak Hanida yang langsung asik membuka plastik makanan ringan.
“Ya
non” jawab Bi Imah singkat dan bergegas meninggalkan kami dari kamar Hanida.
Setiap
geng pasti memiliki geng yang berkontra dengan geng itu, kamipun sama, geng
SWEET GIRL, itu adalah geng yang menandingi ketenaran kami di sekolah, geng
yang terdiri dari anak kelas XI IPS 2 itu selalu membuat ulah yang membuat kami
kerap kali naik pitam.
“Rapat
kali ini adalah membahas tentang geng SG yang sekarang menggeluti ekskul
TaeKwonDo” suara Sarah terdengar agak kesal.
Dan suasanapun menjadi agak serius.
”Kalau begitu kenapa kita tidak ikut serta dalam beladiri itu?” tanyaku sambil
mengacungkan tangan.
“Setuju”
semua serempak menjawab.
Hari
itu kami membahas tentang Tae-kwondo, mencari di beberapa buku dan internet,
agar kami sedikit mengetahui tentang bela diri itu sebelum kami semua
menggelutinya. Waktu bergulir dengan cepat, kini kami harus pulang, aku
bergegas menghampiri om Jono yang telah menunggu bak perangkap tikus, akupun
masuk ke dalam mobil dan bersiap melakukan beberapa kali teriakan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar